Fenomena Cancel Culture, Brand Wajib Waspada!
Akhir-akhir ini fenomena cancel culture tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, terutama mereka yang aktif di media sosial. Cancel culture sendiri mengacu pada tindakan untuk “membatalkan” seseorang atau perusahaan yang terlibat skandal problematik dengan tujuan menghilangkan pengaruhnya, baik di media sosial maupun nyata.
Biasanya, cancel culture terjadi ketika sebuah brand melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau problematik, sehingga publik yang merespon bisa membatalkan brand bersangkutan. Menurut survei Studi Porter Novelli, disimpulkan bahwa 66% responden cenderung akan membatalkan sebuah brand jika brand yang dimaksud ditemukan melakukan kesalahan di luar norma, meskipun mereka menyukai brand tersebut.
Di sisi lain, fenomena cancel culture sebenarnya bisa diatasi dengan beberapa syarat. Masih dari studi yang sama, sebanyak 88% responden ditemukan bersedia memaafkan jika brand mampu menunjukkan upaya yang tulus untuk berubah; dan 84% juga mengatakan mereka lebih mungkin memaafkan brand yang baru pertama kali melakukan kesalahan. Lebih jauh lagi, apabila brand memiliki visi yang lebih baik, sebanyak 73% responden mengakui akan lebih kecil kemungkinannya untuk membatalkan brand tersebut.
Contoh Brand yang Pernah Menjadi Korban Cancel Culture
Dalam fenomena cancel culture, banyak brand pernah menjadi korbannya, termasuk brand yang bergerak di bidang beauty dan skincare. Berikut beberapa brand internasional yang pernah menjadi korban cancel culture:
1. St. Ives
Salah satu produk scrub terkenal keluaran St. Ives pernah terkena boikot publik. Di tahun 2016, dua wanita berkebangsaan Amerika menggugat St. Ives ke pengadilan karena kandungan produk scrub St. Ives dinilai menimbulkan iritasi dan mempercepat penuaan kulit akibat bahan-bahannya yang keras. Hal ini diperparah dengan review-review dari skinfluencer di TikTok yang mengklaim hal serupa. Alhasil, banyak penggemar dari skinfluencer tersebut melakukan cancel culture terhadap produk St. Ives.
2. L’Oreal Paris
Fenomena cancel culture pernah menimpa brand L’Oreal Paris di tahun 2020. Ketika gerakan #BlackLivesMatter ramai digaungkan di seluruh penjuru dunia, L’Oreal Paris turut mendukung dengan memposting gambar “Speaking Out is Worth It” di akun Instagramnya. Namun upaya ini menjadi bumerang ketika model Munroe Bergdorf mengungkapkan pengalamannya mendapatkan tindakan rasis ketika berkolaborasi dengan brand asal Paris tersebut. Kasus ini berakhir setelah Presiden L’Oreal Paris, Delphine Viguier, menemui Munroe Bergdorf dan menyatakan penyesalannya.
3. NARS
Tahun 2017, NARS memutuskan untuk memperluas produknya ke Tiongkok. Akan tetapi, hal ini membuat penggemar brand NARS kecewa setelah pihak brand mengumumkan akan melepaskan status “animal cruelty free” demi mematuhi peraturan dalam negeri Tiongkok yang mewajibkan brand kecantikan dan obat-obatan untuk melakukan uji coba produknya pada hewan. Keputusan yang dipilih NARS akhirnya menimbulkan fenomena cancel culture lantaran banyak konsumen yang kecewa dan menyebut NARS hanya mengejar profit dibandingkan mempertahankan nilai yang selama ini dibangun.
3 Cara Melindungi Brand dari Fenomena Cancel Culture
Tak dapat dipungkiri, cancel culture menjadi prospek yang menakutkan bagi brand. Untuk menghindarinya, brand dapat melakukan beberapa cara yang telah dirangkum pada poin berikut:
1. Fokuskan isu yang ingin diadvokasikan
Advokasi menjadi nilai tambah dan membangun citra positif sebuah brand di mata konsumen. Menurut survei Nielsen, 87% konsumen mengaku akan membeli produk dari brand yang mengadvokasikan isu yang mereka pedulikan. Namun, untuk menemukan fokus advokasi yang tepat, brand sebelumnya perlu mengetahui dan memperkuat value yang dimilikinya
2. Dengarkan loyal customers
Ketika brand mendapatkan kritik keras dari publik, alih-alih bersikap defensif yang dapat menyulut fenomena cancel culture, ada baiknya untuk melakukan refleksi dan memposisikan diri dari sudut pandang konsumen dengan mendengarkan keluhannya. Di sisi lain, brand juga harus berani meminta maaf ke publik jika terbukti melakukan tindakan yang keliru. Meski terdengar sulit, konsumen pasti akan lebih mengapresiasinya.
3. Hati-hati saat memilih influencer yang akan diajak kerjasama
Kini, banyak brand memilih berkolaborasi dengan influencer untuk mempromosikan produknya. Di sisi lain, brand perlu selektif untuk memilih influencer mana yang akan diajak bekerjasama. Oleh karenanya, brand direkomendasikan memilih influencer yang memiliki citra dan latar belakang baik agar fenomena cancel culture dapat dihindari.
Jika brand Anda bingung memilih influencer yang tepat untuk diajak kolaborasi, Geng Glowing dapat menjadi pilihan yang akurat. Sebagai komunitas skincare, Geng Glowing menyediakan influencer mikro dan nano yang bisa diajak partnership untuk kebutuhan marketing bagi brand skincare Anda.
Tak hanya itu, angka followers-nya yang mencapai 51k di Instagram juga menjadikan Geng Glowing sebagai channel promosi yang baik. Adapun brand yang tercatat pernah bekerjasama dengan Geng Glowing, yaitu Wardah, Make Over, Ryoona, Whitelab, White Story, Everwhite hingga Johnson & Johnson dan Mizone.
Tertarik untuk berkolaborasi dengan Geng Glowing? Anda dapat mengirim pesan ke community@bertsolution.com atau WhatsApp ke (+62) 813 2603 5476. Tak hanya itu, kami juga menyediakan servis lainnya, mulai dari social media activation hingga web revamping. Untuk berdiskusi lebih lanjut dengan BERT’s, Anda dapat menghubungi kami melalui tautan ini atau klik di sini untuk mengetahui servis kami selengkapnya.